CIMAHI, SURAT KABAR – Di tengah pesatnya modernisasi, Kampung Adat Cireundeu yang terletak di Kelurahan Leuwigajah, Kecamatan Cimahi Selatan, tetap kokoh mempertahankan tradisi, kearifan lokal, dan ketahanan pangan berbasis singkong.
Kampung ini tidak hanya dikenal karena budaya uniknya, tetapi juga sebagai contoh nyata bagaimana masyarakat dapat bertahan tanpa bergantung pada beras sebagai sumber pangan utama.
Sejarah dan Filosofi Kampung Cireundeu
Nama "Cireundeu" berasal dari pohon reundeu, tanaman herbal yang dulu banyak tumbuh di kawasan ini. Hingga kini, sebagian besar warga menggantungkan hidup pada pertanian singkong.
Dari hasil bumi tersebut, mereka mengolah singkong menjadi rasi (beras singkong), yang menjadi makanan pokok warga.
Tradisi pangan ini telah diwariskan secara turun-temurun. Sebuah pepatah Sunda yang sering diajarkan di kampung ini mencerminkan filosofi ketahanan pangan mereka:
"Teu Boga Sawah Asal Boga Pare, Teu Boga Pare Asal Boga Beas, Teu Boga Beas Asal Bisa Nyangu, Teu Nyangu Asal Dahar, Teu Dahar Asal Kuat."
Ungkapan ini menggambarkan esensi ketahanan pangan masyarakat Cireundeu, yang menekankan pentingnya makanan lokal seperti rasi, tidak hanya sebagai kebutuhan fisik tetapi juga bagian dari praktik spiritual.
Ketahanan Pangan sebagai Identitas Lokal
Selama puluhan tahun, pengolahan singkong menjadi rasi telah menjadi tradisi yang membangun kemandirian pangan warga. Bahkan, mereka tidak terlalu terpengaruh oleh fluktuasi harga beras di pasaran.
Abah Asep Abas, salah satu sesepuh Kampung Adat Cireundeu, mengungkapkan bahwa mereka terus memperkenalkan makanan berbasis singkong kepada masyarakat luas.
"Kami kemas produk ini agar lebih dikenal dan juga untuk mendukung kearifan lokal, terutama dalam ketahanan pangan," ujarnya.
Abah Asep juga menekankan bahwa edukasi tentang pengolahan singkong lebih mereka prioritaskan dibanding pengembangan skala industri.
"Kami ingin orang lain belajar cara mengolahnya, bukan sekadar membeli produk," tambahnya.
Tantangan di Tengah Arus Modernisasi
Kehadiran wisatawan memberikan peluang sekaligus tantangan bagi masyarakat Cireundeu. Menurut Abah Asep, kunjungan wisatawan dapat memengaruhi adat istiadat setempat.
Namun, mereka berusaha menyeimbangkan antara menjaga tradisi dan mengakomodasi pariwisata. "Kami terus berupaya agar budaya kami tetap lestari, meskipun harus menghadapi tantangan dari luar," ujarnya.
Seni tradisional seperti calung juga menjadi bagian penting dalam menjaga budaya lokal. "Calung bukan hanya hiburan, tetapi juga sarana untuk memahami nilai-nilai kehidupan," jelas Abah Asep.
Selain itu, tradisi syukuran adat seperti syukuran lembur di bulan Sura tetap dijalankan untuk menjaga hubungan spiritual dengan alam dan leluhur.
Festival Budaya sebagai Wadah Edukasi
Untuk memperkenalkan budaya Cireundeu lebih luas, festival budaya pertama di kampung ini digelar pada 5–7 Desember 2024.
Festival ini bukan sekadar ajang pariwisata, melainkan sarana edukasi tentang adat, ketahanan pangan, dan seni tradisional.
"Kami berharap festival ini menjadi tempat belajar tentang adat istiadat dan kearifan lokal yang diwariskan leluhur," tutur Abah Asep.
Melestarikan Warisan Leluhur
Dengan komitmen yang kuat, masyarakat Kampung Adat Cireundeu terus berupaya menjaga tradisi di tengah perubahan zaman.
Mereka membuktikan bahwa pelestarian budaya tidak hanya memperkaya identitas lokal tetapi juga menjadi solusi nyata untuk menghadapi tantangan modernisasi.
Cireundeu bukan hanya sekadar kampung adat, tetapi juga simbol ketahanan dan keberlanjutan yang dapat menjadi inspirasi bagi masyarakat luas.