SURAT KABAR – Perdebatan mengenai penggunaan senjata otonom di Amerika Serikat semakin memanas.
Di satu sisi, Brandon Tseng, CEO dari Shield AI, menegaskan penolakannya terhadap senjata yang sepenuhnya otonom.
Menurutnya, penggunaan senjata tersebut menimbulkan risiko tinggi bagi kemanusiaan dan dapat mengakibatkan konsekuensi yang tidak diinginkan dalam konflik bersenjata.
Sebaliknya, Palmer Luckey, salah satu pendiri Anduril, mengajukan pandangan yang berbeda.
Ia mempertanyakan argumen etis yang menentang senjata otonom, berpendapat bahwa teknologi ini bisa menjadi alat yang efektif dalam melindungi kehidupan manusia.
Meski demikian, ia menyadari pentingnya regulasi dan pengawasan dalam pengembangan senjata tersebut.
Saat ini, Angkatan Bersenjata Amerika Serikat belum menggunakan senjata otonom secara penuh, namun mereka tidak melarang pengembangan atau penjualannya ke negara lain.
Hal ini menimbulkan kekhawatiran di kalangan pengamat bahwa negara lain, seperti China dan Rusia, dapat memimpin dalam pengembangan teknologi senjata otonom yang dapat mengubah dinamika perang di masa depan.
Joe Lonsdale, salah satu pendiri Palantir, menyerukan perlunya diskusi yang lebih mendalam mengenai senjata berbasis AI.
Ia menekankan pentingnya pendidikan bagi para pembuat kebijakan untuk memahami potensi dan risiko yang terkait dengan senjata otonom.
“Kita perlu memberikan informasi yang lebih baik kepada mereka agar dapat mengambil keputusan yang tepat,” ungkapnya.
Perang yang sedang berlangsung di Ukraina telah memperburuk argumen untuk lebih banyak otomatisasi dalam konteks militer.
Dengan ketegangan global yang meningkat, banyak yang percaya bahwa teknologi canggih, termasuk senjata otonom, dapat menjadi kunci untuk mempertahankan keamanan nasional.
Di tengah perdebatan ini, Silicon Valley terus menjadi pusat inovasi dan diskusi mengenai masa depan teknologi militer.
Apakah senjata otonom akan menjadi solusi atau ancaman? Waktu yang akan menjawab pertanyaan ini.
