SURAT KABAR - Kementerian Agama (Kemenag) melalui Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) memberikan klarifikasi terkait produk pangan yang memiliki nama "tuyul", "tuak", "beer", dan "wine", yang juga telah mendapatkan sertifikat halal.
Kepala Pusat Registrasi dan Sertifikasi Halal BPJPH, Mamat Salamet Burhanudin, menegaskan bahwa masalah ini berkaitan dengan penamaan produk, bukan pada kehalalan produk itu sendiri.
"Artinya, masyarakat tidak perlu ragu bahwa produk yang telah bersertifikat halal terjamin kehalalannya. Produk tersebut telah melalui proses sertifikasi halal dan mendapatkan ketetapan halal dari Komisi Fatwa MUI atau Komite Fatwa Produk Halal sesuai mekanisme yang berlaku," ujar Mamat dalam keterangan resminya.
Baca Juga: Ancaman Kenaikan Pengangguran: Hampir 53.000 PHK Terjadi di Indonesia dalam 9 Bulan
Mamat menjelaskan bahwa penamaan produk halal diatur oleh regulasi yang tertuang dalam SNI 99004:2021 tentang persyaratan umum pangan halal serta Fatwa MUI Nomor 44 tahun 2020 mengenai penggunaan nama, bentuk, dan kemasan produk yang tidak dapat disertifikasi halal.
Peraturan ini menegaskan bahwa pelaku usaha tidak diperkenankan untuk mendaftarkan produk dengan nama yang bertentangan dengan syariat Islam atau norma serta etika yang berlaku di masyarakat.
Namun, ia mengakui bahwa masih terdapat produk dengan nama-nama tersebut yang telah mendapatkan sertifikat halal, baik dari Komisi Fatwa MUI maupun Komite Fatwa Produk Halal.
"Hal ini terjadi karena masing-masing memiliki pendapat yang berbeda-beda terkait penamaan produk. Data kami di Sihalal menunjukkan adanya ketidaksesuaian dalam hal ini," tambah Mamat.
Di sisi lain, Ketua MUI Bidang Fatwa, Asrorun Niam, menyatakan bahwa berdasarkan hasil investigasi, produk-produk yang mendapat sertifikat halal dari BPJPH tersebut melalui jalur self declare.
Ini berarti produk tersebut tidak melalui audit lembaga pemeriksa halal dan tidak ditetapkan kehalalannya oleh Komisi Fatwa MUI.
"Penetapan halal tersebut menyalahi standar fatwa MUI, karena tidak melalui proses yang ditentukan oleh Komisi Fatwa MUI. Oleh karena itu, MUI tidak bertanggung jawab atas klaim kehalalan terhadap produk-produk tersebut," tegas Asrorun.
Klarifikasi ini diharapkan dapat memberikan pemahaman yang lebih jelas kepada masyarakat mengenai status kehalalan produk pangan yang beredar di pasaran, serta pentingnya memilih produk yang telah terjamin kehalalannya.