CIMAHI, SURAT KABAR – Kasus perceraian di Kota Cimahi sepanjang tahun 2024 terus mengalami peningkatan. Menurut data Pengadilan Agama Kota Cimahi, cerai gugat, yang mayoritas diajukan oleh istri, menjadi faktor dominan dalam tingginya angka perceraian tersebut.
Hingga September 2024, tercatat ada 1.133 perkara perceraian, dengan proyeksi mencapai 1.600 perkara hingga akhir tahun. Wakil Ketua Pengadilan Agama Kota Cimahi, Al Fitri, menyatakan bahwa sepanjang Januari hingga Agustus, terjadi peningkatan rata-rata 200 perkara setiap bulannya.
"Sampai bulan Desember, diperkirakan bisa mencapai 1.600 perkara. Artinya, setiap bulan terjadi penambahan antara 100 hingga 150 perkara. Namun, ada juga yang sudah terselesaikan, sehingga angka tersebut masih berupa estimasi," ujar Al Fitri ketika ditemui di Kantor Pengadilan Agama Kota Cimahi, Jumat (20/9/2024).
Mayoritas perceraian yang tercatat adalah cerai gugat, yakni perceraian yang diajukan oleh istri. Berdasarkan data hingga 19 September 2024, cerai gugat mencapai 707 perkara, sedangkan cerai talak yang diajukan oleh suami hanya 211 perkara.
"Faktor utama istri mengajukan cerai biasanya berkaitan dengan ketidakterpenuhinya kewajiban suami, terutama dalam hal ekonomi," jelas Al Fitri.
Faktor ekonomi mendominasi penyebab perceraian, dengan 118 kasus terkait ketidakmampuan suami memenuhi kebutuhan rumah tangga. Perselisihan yang berlarut-larut juga menjadi penyebab umum perceraian di Cimahi.
"Pada dasarnya, banyak perkara yang berakar pada masalah ekonomi dan komunikasi yang tidak harmonis. Kurangnya komunikasi antara suami dan istri, atau bahkan dengan keluarga masing-masing, sering kali memicu konflik," tambah Al Fitri.
Masalah terkait anak juga sering memicu pertengkaran yang berujung perceraian. Al Fitri mencontohkan, tindakan suami yang membentak anak bisa memicu perselisihan dengan istri.
Selain itu, penggunaan media sosial juga turut berperan dalam tingginya angka perceraian.
"Media sosial bisa menjadi pemicu hadirnya pihak ketiga, terutama jika suami atau istri terlalu sibuk dengan aktivitas mereka di dunia maya," ungkapnya.
Al Fitri juga mencatat bahwa pasangan usia produktif, terutama antara 30 hingga 40 tahun, merupakan kelompok yang paling rentan mengalami perceraian.
"Pasangan muda yang belum mencapai kemapanan dalam berkeluarga cenderung lebih rentan terhadap konflik," jelasnya.
Ia menekankan pentingnya usia matang dalam pernikahan untuk mengendalikan emosi dan menjaga keharmonisan rumah tangga, sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974.